Breaking News

Bupati Musi Rawas Dari Priode ke Priode


1).Raden Ahmad Abusamah (1945 – 1946)
Sebagai Bupati Musi Ulu Rawas yang pertama kali setelah penyerahan pemerintahan Jepang, dua hari setelah kemerdekaan RI. Beliau sebagai perintis pembentuk organ pemerintahan daerah swantantra, Komite Nasional Daerah (KND) Kabupaten Musi Ulu Rawas berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Pembentukan KND. Meskipun baru berlaku pada tanggal 23 November 1945, lebih kurang 3 (tiga) bulan sebelum yang bersangkutan ditarik ke Kantor Resident Palembang.
Selain itu, bersama militer ia membentuk Barisan Keamanan Rakyat (BKR) yang di bawah komando perjuangan pergerakan Sub Komandemen Sumatera Selatan (Subkoss). Namun, setelah terjadi perperangan sehari semalam dengan tentara Jepang, pada tanggal 23 Desember 1945 beliau menyerahkan jabatannya kepada Amaludin. (Amin, 1976; Amin, 1986; Karmud, 1987)
2).Amaludin (Februari 1946 – 1947)
Suasana euphoria kemerdekaan yang tinggi tetapi iklim sosial masyarakat yang belum stabil, perekonomian masih morat marit merupakan tantangan tersendiri dalam mengendalikan roda pemerintahan saat itu.
Dengan semangat perjuangan yang tinggi sebagai modal dasar pengabdian waktu itu sehingga takaran aktivitas pemerintah Asal Lewat Saja (ALS) karena sarana dan prasarana belum memadai bagi sebuah negara. Memang tugas utamanya, meneruskan perjuangan yang dirintis Raden Ahmad Abusamah membentuk KND di setiap wedana maupun marga. Selain itu ia bertugas menginventarisasikan personal TKR, memobilisasikan masyarakat dan memperkuat barisan pertahanan bangsa dengan membentuk BKR yang bekerjasama dengan Subkoss.
3). A. Ajis (1947 – 1952)
Masa pemerintahan beliau, situasi politik dan sistem ketatanegaraan masih labil, sehingga tugas utamanya, mempertahankan keutuhan wilayah dan status kemerdekaan. Semboyan “merdeka atau mati” menjadi spirit dalam pergerakan perlawanan bagi BKR dan TRI dalam menghadapi perlawanan agresi militer Belanda I tanggal 27 Juli 1947.
Akibat perang lima hari lima malam di Kota Palembang, berdampak terhadap perpindahan Subkoss dari Palembang ke Prabumulih kemudian ke Lahat dan selanjutnya ke Lubuklinggau. Dengan didudukinya Lubuklinggau oleh Belanda maka pusat komando Subkoss pindah ke Curup dan Muara Aman (Lebong Bengkulu). Ketika terjadi pergolakan perlawanan gerilya, maka terjadinya kekosongan pemerintahan sipil di Lubuklinggau dikarenakan ditariknya A. Aziz ke Residenan Palembang. Kekosongan ini mendorong penugasan Muhammad Hasan sebagai Bupati Perang saat itu.
4).Muhammad Hasan (1947)
Masa kepemimpinan Bupati Muhammad Hasan sangat singkat akibatnya terjadinya transisi konsitusional di pusat, sementara pemerintahan sipil waktu itu dituntut lebih dinamis dalam mengambil langkah-langkah strategis yang melibatkan wedana, camat dan pasirah, karena salah satu tugas mereka adalah untuk memobilisasikan pemuda dan masyarakat sewaktu- waktu diperlukan untuk menghadapi agresi militer Belanda yang terjadi saat itu.
Di masa kedaruratan suasana politik, organ pemerintahan sipil disebut bupati perang, wedana perang, camat perang, pasirah perang. Muhammad Hasan adalah seorang Komisaris Polisi yang diangkat sebagai Bupati Perang di Musi Ulu Rawas. Demikian juga Mohammad Arip, dan Abdoel Ro'i, serta Muhammad Yoenoes maupun Masdan pernah menjadi wedana dan camat perang.
5).Mohammad Arip (1952 – 1958)
Salah satu karakteristik yang menonjol dari sosok Mohammad Arip adalah sikap kejujuran dan transparansi yang mengilhami setiap aktivitas kepemimpinan sebagai Bupati di Musi Ulu Rawas. Semua itu dikemas dalam bingkai ibadah, kejujuran dan kesederhanaan.
Di masa kepemimpinan beliau, transisi tatakelola pemerintahan mengalami stagnasi, karena terbitnya Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1948 dianggap tidak relevan sehingga diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.
6). H. Bachtiar Amin (1958 - 1961).
Beliau adalah seorang Pamong Praja juga politisi Masyumi. Hasil pemilu 1955 mengantarkan beliau menjadi anggota DPRD Peralihan tahun 1956. Penetapannya sebagai Kepala Daerah merujuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957. Berdasarkan Undang-Undang ini, Pemerintah Daerah terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Peralihan (DPRDP) dan Dewan Pemerintah Daerah (DPD). Konsekuensinya, ia disebut sebagai Bupati Muda, karena mempunyai kewenangan mengatur daerah sebagai daerah otonom (Swatantra). Beliau adalah Kepala Daerah yang pertama kali ditetapkan melalui proses pemilihan DPRD Perwakilan Daerah Swatantra Tingkat II Musi Ulu Rawas yang dipimpin oleh Arasman Karim (Politisi PSII) berasal dari Petunang Kewedanaan Proatin XI. (sekarang Kecamatan Muara Kelingi)
Karakter kepamongprajaan beliau dirintis sejak pemerintahan Jepang, ia sangat konsen dengan sejarah yang dimanifestasikan dengan berbagai catatan pribadi meskipun belum diterbitkan.
7).Zainal Abidin Ning (1958 – 1964)
Periode ini sangat krusial, karena pergolakan parlemen di pusat dan di daerah sedang terjadi perebutan pengaruh/kekuasaan antara Partai Komunis dan Partai Islam yang semakin sengit. Kondisi aparatur negara di daerah sangat memprihatikan. Bupati Zainal Abidin sangat peduli terhadap kedisiplinan dan kesejahteraan pegawai. Salah satunya, ia mengintruksikan pegawai dan anak sekolah supaya berambut pendek dan menghimbau pegawai untuk berkebun dan bercocok tanam di luar jam dinas. Kepedulian ini menimbulkan kesan tersendiri dan membuat sosoknya sangat populer khususnya bagi komunitas pertanian dan pendidikan.
8).Abdul Ro’I (1964 – 1966)
Sebagai penerus bupati sebelumnya dalam situasi politik yang gaduh, disikapinya dengan sabar dan tawakal. Figur ini merupakan sosok yang pas, karena sifat konsistensinya terhadap aturan perundang-undangan, di samping dikenal sebagai orang yang taat beragama. Ia dikenal sebagai pemimpin yang selalu memberikan nasehat dan bimbingan kepada stafnya. Sebagai penjabat Bupati, beliau dipilih oleh DPRD peralihan dengan tugas utamanya mempersiapkan pemilihan Bupati selanjutnya.
9). H.Abdoes Somad Mantap (1967-1968)
Di era ini terjadi pembekuan PNI secara nasional yang diakibatkan beberapa hal, di antaranya adanya transisi pemerintahan pascaperistiwa G.30S-PKI 1965, keruntuhan rezim Sukarno sebagai petinggi PNI dan tekanan kekuatan besar politik berbendera Islam saat itu menuntut pelucutan atribut politik yang berbau “Sukarnoisme” dengan tuntutan PKI dibubarkan. Hal ini berdampak pula terhadap pembekuan PNI di Musi Ulu Rawas yang dipimpin oleh H. Abdoes Somad Mantap.
Karena pergolakan politik di daerah tidak selalu linier dengan Jakarta, maka Bupati Abdoes Somad Mantap yang notabene berasal dari PNI pun diminta mundur, demi keberlangsungan roda pemerintah di Musi Ulu Rawas.
10 11).Masdan dan Muhammad Yoenoes (1967 – 1968)
Akibat turunnya Bupati H. Abdoes Somad Mantap di tengah masa pengabdiannya, konstitusi memberikan peluang penunjukan seorang penjabat (caretaker) yang diberi waktu selama enam bulan. Tugas utamanya mempersiapkan prosesi pemilihan kepala daerah melalui lembaga DPRD Gotong Royong (DPRD-GR). Karena situasi politik sangat panas dengan intrik-intrik yang cenderung “saling jegal”, maka penjabat Bupati Masdan tidak berhasil membentuk DPRD-GR.
Sejarah mencatat Muhammad Yoenoes sebagai pengganti Masdan, SH mampu membentuk kelembagaan DPRD-GR dengan kursi sebanyak 13 kursi dari 15 kursi yang seharusnya. Sisa 2 kursi karena salah satu partai politik tidak mengirimkan perwakilannya. Perhelatan pemilihan bupati diramaikan oleh dua calon, yaitu H. Mochtar Aman dan Abdullah Basri, SH (Ketua Pengadilan Negeri Lubuklinggau). Hasil pemilihan bupati tersebut dimenangkan oleh H. Mochtar Aman dengan suara 7 berbanding 6.
12).H. Mochtar Aman (1968 – 1979)
Masa jabatan Bupati H. Mochtar Aman adalah era sistem pemerintahan sangat terkendali dengan lahirnya era orde baru di bawah rezim Suharto. Hiruk-pikuk di parlemen relatif tidak ada lagi, karena hanya ada sepuluh kontestan (Pemilu 1971) yang akhirnya mengerucut menjadi tiga kontestan pada pemilu 1977 (Golkar, PDI dan PPP). Golkar pada waktu itu didukung oleh Fraksi ABRI dan utusan golongan. Pemerintah pusat sangat mengendalikan keamanan dan ketertiban di masyarakat, sehingga stabilitas pemerintahan daerah sangat kondusif.
Di era ini peran eksekutif sangat dominan bila dibandingkan dengan legislatif dan yudikatif, tidak sesuai dengan konsep trias politika tentang pembagian kekuasaan.  Kondisi ini didukung karakter sang bupati sehingga kepemimpinannya dikenal berwibawa dan terkesan arogan serta mudah marah. Meskipun demikian ia sangat peduli terhadap kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan program kesehatan, pendidikan dan perekonomian serta infrastruktur lainnya.
Kesuksesan belian memelihara stabilitas keamanan yang didukung doktrin dwifungsi ABRI, maka seluruh pegawai diarahkan menyalurkan aspirasinya melalui Sekber Golkar yang kemudian menjadi Golkar dan Partai Golkar di era reformasi. Kondusivitas ini menghantarkan inisiasi Aziz Makruf dari Fraksi Karya Pembangunan (KP), untuk mengadakan sayembara lambang dan motto Kabupaten Musi Rawas yang disahkan dalam rapat Paripurna DPRD-GR tahun 1968 yang dipimpin Hafni As (ketua).
Kemudian beliau melanjutkan pembangunan jalan Depati Said (Talangrejo) yang dirintis oleh Bupati Zainal Abidin Ning; membangun Terminal Bus (AKAP) di Pasar Muara Atas (sebelah rel KA), serta pembukaan jaringan irigasi dan perluasan sawah di Tanah Periuk dan Pedang yang kini disebut Air Satan. Beliau juga membangun gedung STM dan SMEA di Megang yang kini menjadi SMKN 2 di Kelurahan Air Kuti (Tabapingin).
13 14).Era Cholil Azis, SH (1979 – 1980)
Prosesi pemilihan bupati yang dilaksanakan DPRD Kabupaten Musi Rawas pada tahun 1978 ternyata tidak dapat berjalan dengan sukses sesuai dengan harapan kebijakan pemerintah pusat karena waktu itu yang terpilih adalah H. Somad Pabil dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang bersaing dengan Drs. Adios Effendy dari Sekber Golkar. Maka ditunjuklah Cholil Azis sebagai penjabat Bupati Musi Rawas untuk mendorong penyelenggaraan pemilihan ulang calon Bupati KDH Tingkat II Musi Rawas periode selanjutnya. Ia menjabat sekitar satu tahun dengan tugas selain mempersiapkan prosesi pemilihan ulang calon Bupati Musi Rawas juga mengisi kevakuman pemerintahan di bidang pelayanan umum masyarakat, meneruskan pembangunan infrastruktur serta menjaga stabilitas politik di daerah.
15). H.M. Syueb Tamat (1980 – 1990)
Sebagai pemenang pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Beliau dikenal “low profile” dalam kesehariannya. Tutur bahasanya santun dan lembut, tetapi memiliki visi yang jauh ke depan untuk memajukan daerah Musi Rawas.
Beliau lebih memfokuskan penguatan ekonomi kerakyatan dengan prioritas sektor transmigrasi, pertanian dan irigasi. Selama 10 tahun menjabat, sebanyak 37 Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) berhasil dibangun. Bahkan gagasan yang dikenal dengan model Transmigrasi Swakarsa Pengembangan Desa Potensial (Transwabangdep) berhasil dijadikan contoh secara nasional.
Prestasi beliau dicatat sebagai keberhasilan Musi Rawas dalam berswasembada beras pada tahun 1982, dua tahun sebelum pencapaian swasembada beras nasional.
16).Nang Ali Solichin (1990 – 1995)
Bupati Nang Ali dikenal sebagai “bupati lapangan”, karena seringnya turun ke desa-desa untuk memastikan pelaksanaan pembangunan. Ia juga dikenal bupati yang sangat intensif dalam pengumpulan pajak daerah sebagai modal pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik.
Karya monumentalnya adalah pembangunan Masjid Agung Assalam, stadion olahraga dan membuka akses jalan Kuto Tanjung ke Pulau Kidak (Ulu Rawas) dan Napal Melintang ke Selangit. Inovasi lain ia mengawal kebersihan kota menggunakan aparat keamanan yang “ditakuti” (bertindak tegas, keras tanpa tebang pilih) sehingga disebut “Rambo”. Walaupun beberapa elemen masyarakat yang protes, tetapi pada umumnya masyarakat menikmati kebersihan dan ketertiban Kota Lubuklinggau. Alhasil, Adipura disematkan ke Kota Lubuklinggau tahun 1995 sampai dengan 1997 (masa kepemimpinan Bupati Drs. H. Radjab Semendawai, SH). Walaupun demikian, beliau juga meneruskan rancangan H.M. Syueb Tamat desain tata-kota Kota Lubuklinggau sebagai Kota Administratif (Kotif).
17). Drs. H.Radjab Semendawai, SH (1995 – 2000)
Beliau lebih banyak meneruskan berbagai program Nang Ali Solichin. Karakter kepemimpinannya terlihat cukup kontras dengan pendahulunya yang sering terjun ke lapangan, sementara Radjab lebih berorientasi pada penataan staf secara internal. Kondisi ini dipicu oleh stabilitas politik di pusat yang belum kondusif menjelang era reformasi.
Periode beliau adalah sebuah periode menyongsong lepas landas Pelita VI, dan era pergerakan reformasi secara nasional yang berimbas ke Musi Rawas. Gerakan reformasi di Musi Rawas tahun 1999 dimotori para tokoh mahasiswa yang sedang mengenyam pendidikan di luar kota dan pemuda (KNPI), salah satu tuntutannya menurunkan jabatan Ketua DPRD dan beberapa pejabat lainnya termasuk Kepala Dinas Kesehatan. Terpenuhinya tuntutan itu maka keperiodean beliau sampai berakhir masa jabatannya tanpa diusik. 
18).H.Suprijono Joesoep (2000 – 2004)
Letkol CPM (Purn) H. Suprijono Joesoef adalah Bupati pertama yang dipilih pascareformasi 1999 setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Di masa euforia reformasi ini, telah terjadi pembalikan paradigma lama tentang “kekuasaan negara”, sehingga “bandul kekuasaan” beralih ke lembaga legislatif. Menurut Undang- Undang ini, bupati kepala daerah wajib didampingi wakil bupati dan dipilih secara langsung oleh DPRD. Hasil pemilu legislatif tahun 1999 di Musi Rawas menghasilkan DPRD yang didominasi PDI-Perjuangan. Ketua DPRD periode 1999-2004 dijabat oleh Jas Karim (PDI-P) dan salah satu wakilnya adalah Drs. H. A. Karim AR (Ketua DPC Golkar dan mantan Kepala Bappeda Musi Rawas). Hasil prosesi pemilihan bupati oleh DPRD adalah H. Suprijono Joesoef sebagai bupati dan Ir. H. Ibnu Amin, MSc sebagai wakil bupati.
Meskipun berasal dari ABRI, sosok bupati dikenal cukup baik dan peduli dengan kesejahteraan pegawai. Berbagai atribut pegawai Pemda Musi Rawas ditunjukkan antara lain dengan pemberian baju batik khas Musi Rawas dan menjadi seragam dinas untuk hari Jumat dan Sabtu.
Masa jabatan bupati Suprijono tidak sampai pada akhir masa jabatannya, karena pada 12 Maret 2004 beliau meninggal dunia di Bandung karena sakit.
19). Ir.H Ibnu Amin, M.Sc (2004 – 2005)
Ibnu Amin merupakan wakil bupati sebagai penerus kepemimpinan Suprijono yang berhalangan tetap, menurut UU No. 22 Tahun 1999 Pasal 58 huruf (a), maka Wakil Bupati diangkat sebagai Bupati melalui persetujuan DPRD Mura. Pelantikan beliau pada 12 Mei 2004 oleh Gubernur Ir. H. Syahrial Oesman, MM atas nama Mendagri dalam sidang paripurna DPRD yang dipimpin oleh Drs. HA Karim AR sebagai Wakil Ketua DPRD, di gedung DPRD Mura.
Di era Bupati Ibnu Amin agenda besarnya adalah memperjuangkan pemindahan ibukota Kabupaten Musi Rawas ke Muara Beliti yang telah dimulai bersama pasangannya. Program unggulan lainnya adalah bidang pariwisata, di samping kesehatan, pendidikan dan pertanian. Agenda besar lainnya adalah menindaklanjuti dan menyelesaikan masalah aset daerah pasca pemekaran Kota Lubukinggau serta menggagas rencana pemekaran kabupaten baru yang diusulkan dalam rapat informal dengan tokoh masyarakat eks. Kewedanan Rawas dengan nama Musi Rawas Utara (MURATARA).
20).Drs. H. Iskandar Zulkarnain (2005)
Sebagai penjabat bupati, tugas utama Bupati Iskandar Zulkarnain, mempersiapkan prosesi pemilihan kepala daerah (pilkada), di samping melaksanakan jalannya pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
Beliau berhasil dengan sukses menyelenggarakan pilkada bupati kepala daerah tahun 2005 secara langsung meskipun baru pertama kalinya dilaksanakan di Musi Rawas.
21).Ridwan Mukti (2005 – 2015)
Sebagai bupati hasil pilkada yang dipilih langsung oleh rakyat, program unggulannya lebih fokus pada kebutuhan dasar masyarakat yang dikemas dalam agenda pembangunan yang inovatif untuk jangka panjang dan menengah. Model pembangunan fenomenal ala Ridwan Mukti, baik di periode pertama (bersama Wabup Ratnawati) maupun periode kedua (bersama Wabup Hendra Gunawan) bermuara pada area spiritual “Musi Rawas Darussalam”, dengan tiga pilar utama: Musi Rawas Sehat, Musi Rawas Cerdas dan Musi Rawas Mapan.  Untuk menggapai gagasan yang luhur tersebut, Bupati Ridwan Mukti beserta gerbong birokrasinya bekerja keras membangun infrastruktur dasar, infrastruktur strategis dan membangun sektor pendidikan, kesehatan serta pertanian. Di sektor infrastruktur dasar antara lain dibangun instalasi PDAM, Jaringan Listrik perdesaan dan Irigasi berskala besar Selangit. Di sektor infrastruktur strategis misalnya pengembangan Bandara Silampari, Rencana Terminal Peti Kemas.
Di sektor pengembangan dan penataan kawasan ekonomi pertanian dan perdesaan, diluncurkan “Program Agropolitan” dengan simpul-simpul ekonomi kawasan yang tersebar di 5 titik penyangga (hinterland) sebagai “Agropolitan Distrik”. Catatan sejarah yang fenomenal adalah telah dibangun Masjid Agung Musi Rawas Darussalam yang megah, di samping pemindahan seluruh perkantoran Pemda dan SKPD dari Lubuklinggau ke Muara Beliti.
22).Hendra Gunawan,Sp.MM (2015 - 2020)
Ulasan belum tersedia.

SUMBER : 
Buku Dari Periode ke Periode Bupati musirawas 1945-2015
Karya: MUHAMAD NIZAR, SKM., MM., M.Epid Dr. SUGANDA P. PASARIBU, AP., M.Si., M.Si
Semoga Bermanfaat.
BACA JUGA BERITA LAINNYA