Jejak Dakwah Inklusif, Misi Ustadz Gadis Depan Menembus Sekat Keyakinan
SUKABUMI, beritaekspos com.
Sekelompok pemuda militan dalam dakwah yang berasal dari Pesantren Modern Dzikir Al-Fath mengambil langkah berani dengan menempuh perjalanan ke pelosok negeri.
Mereka penuh optimis dan semangat syiar yang menyala-nyala menjauh dari hiruk-pikuk kota dan menyusuri wilayah-wilayah terpencil yang lama terabaikan.
Lewat program Ustadz Gadis Depan 6, mereka membawa misi pengabdian yang tak sekadar dakwah.
Selama dua tahun terakhir, para relawan muda ini hadir di tengah-tengah masyarakat adat di pelosok, menyasar tujuh desa yang sebagian besar mengalami krisis tenaga pendidik.
“Gedung SD-nya ada, tapi kosong. Tak ada guru. Ada anak usia 12 tahun yang belum bisa baca tulis,” ungkap Pimpinan Ponpes KH Fajar Laksana.
Lebih lanjut Ia menjelaskan, program ini bermula dari dua desa binaan dan kini menjangkau tujuh desa adat, didukung 29 relawan yang terdiri dari ustadz senior dan relawan muda baru yang telah menjalani pelatihan khusus.
Tak hanya mengajarkan agama, para ustadz muda ini juga merangkap sebagai guru umum, pelatih komputer, fasilitator pembangunan desa, bahkan pendamping perangkat pemerintahan.
“Di beberapa titik, mereka juga mengenalkan teknologi dasar, seperti Microsoft Word dan membuat peta desa digital,” ujar Kyai Fajar.
Yang membuat gerakan ini istimewa adalah pendekatannya yang inklusif. Warga non-Muslim pun turut merasakan manfaat langsung dari keberadaan para dai muda, terutama di bidang pendidikan dan kemanusiaan.
“Saat guru tidak ada, pertolongan tak boleh pilih keyakinan,” tegas Kyai Fajar.
Respon masyarakat pun luar biasa. Dari dua desa, kini menjadi tujuh yang rutin dilayani. Dua masjid pun berhasil dibangun secara swadaya, termasuk Masjid Al-Fath yang baru saja diresmikan.
Direktur Penerangan Agama Islam Kementerian Agama RI, A. Zayadi, yang turut menghadiri peresmian, menyebut program ini sebagai contoh konkret moderasi beragama yang tumbuh dari bawah.
“Ini bukan sekadar dakwah, ini revolusi sosial dari pinggiran,” ujarnya.
Para relawan direkrut lewat seleksi ketat, tidak hanya menguji kompetensi mengajar, tapi juga kesiapan mental dan spiritual. Mereka dilatih menghadapi tantangan geografis, sosial, dan budaya sebelum benar-benar diterjunkan ke lapangan.
Selama bertugas, mereka tinggal bersama warga, menyatu dalam kehidupan sehari-hari berbagi ruang, makan, keluh kesah, hingga ikut bertani dan membantu warga yang sakit.
“Kami ingin para dai tidak hanya hadir sebagai pengajar, tapi juga sebagai bagian dari masyarakat,” ucapnya.
Program ini berjalan secara swadaya, didukung oleh donatur individu, komunitas, hingga alumni pesantren yang kini sukses di luar daerah.
“Banyak yang ikut membantu logistik, transportasi, hingga perlengkapan belajar. Semua dari hati yang sama: mengabdi untuk negeri,” tutupnya.
Ois