Menguak Jejak Pra-Sejarah Sukabumi: Seminar BRIN dan Ponpes Al-Fath Bongkar Temuan Baru Gunung Tangkil
SUKABUMI, beritaekspos com.
Ponpes Modern Al-Fath, jadi saksi momen penting saat menggelar seminar hasil penelitian awal Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang dipaparkan di hadapan puluhan peserta di Aula Syekh Quro, Jumat 30 Mei 2025.
KH Fajar Laksana, Pimpinan Ponpes Al-Fath, menyambut hangat tim BRIN yang hadir membahas kerja sama resmi lewat MoU Nomor 36/Maret 2025, kolaborasi besar antara negara dan swasta untuk menguak sejarah dan budaya Sukabumi.
"Penelitian Tahap IV ini menjadi lanjutan dari penelitian tahap I, II, dan III yang sebelumnya hanya fokus pada benda-benda di Museum Prabu Siliwangi tanpa menelusuri lokasi penemuannya," ujarnya.
Kini kata dia tim peneliti turun langsung ke lapangan untuk memastikan apakah batu, fosil, dan koleksi lain memang sesuai dengan asal muasalnya. Hasilnya? Mengejutkan sekaligus menguatkan nilai sejarah museum tersebut.
Salah satu lokasi yang jadi sorotan adalah Gunung Karang, di mana struktur bebatuan yang ditemukan sama persis dengan yang ada di museum, termasuk fosil berbentuk kerang laut dan binatang purba.
Para ahli memastikan kawasan ini sudah berumur jutaan tahun, termasuk mengalami perubahan akibat kenaikan permukaan laut. Tak heran jika Gunung Karang kini direkomendasikan sebagai calon Eko Museum, termasuk kawasan Gunung Tangkil.
Di Gunung Tangkil, para peneliti justru menemukan harta karun baru: Dakon batu berlubang dari budaya megalith budaya pra-sejarah yang menandakan adanya aktivitas manusia purba di sana.
"Penemuan ini menunjukkan Gunung Tangkil bukan sekadar hutan lindung biasa, tapi menyimpan artefak penting yang bisa mengungkap sejarah peradaban lama di Sukabumi," tandasnya.
Namun, karena statusnya masih di bawah kawasan hutan lindung, KH Fajar Laksana berharap Pemda, gubernur, dan Kementerian Kebudayaan bisa turun tangan mengusulkan Gunung Tangkil sebagai situs resmi.
“Kami minta kepada Pemda untuk diusulkan menjadi situs. Diharapkan bupati, gubernur, dan kementerian bisa melakukan kegiatan lanjutan,” tegas Fajar, yang menekankan pentingnya langkah nyata pelestarian.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Punjul Saepul Hayat, menyebut kegiatan seminar ini sebagai lompatan besar bagi Sukabumi Raya. Selama ini, kata dia, daerah seperti Garut, Bandung, dan Tasikmalaya sudah lebih masif mempromosikan warisan budayanya.
Sementara Sukabumi justru seperti “imperior” karena kurang memahami asal-usul budayanya sendiri. Punjul pun berkomitmen penuh mendukung inisiatif ini, termasuk kemungkinan pembangunan gapura budaya lewat Musrenbang.
Punjul juga mengajak seluruh elemen — mulai dari Pemda, BRIN, LSM, hingga masyarakat untuk bersinergi menjaga dan memajukan budaya. Ia mencontohkan bangsa-bangsa maju seperti Jepang yang menjunjung tinggi filosofi Bushido sebagai identitas budaya.
“Sukabumi harus tahu dari mana ia berasal, di mana ia berdiri sekarang, dan ke mana ia akan menuju,” tandasnya, seraya menyebut bahwa rencana pembangunan tol ke Sukabumi hingga Padalarang juga perlu diimbangi dengan kemajuan di sektor kebudayaan.
Peneliti BRIN, Yusmaeni Eriawati, memaparkan detail menarik: pada masa lalu, batu-batu kuno tidak hanya jadi benda mati, tetapi dipakai dalam prosesi sakral untuk keluarga yang meninggal.
Kala itu, mereka belum langsung menguburkan jenazah, melainkan melewati ritual khusus, termasuk membuat arca untuk mengagungkan roh leluhur.
"Membuat arca-arca itu butuh dana besar dan keahlian memahat yang tinggi,” jelas Yusmaeni, menandai betapa tingginya nilai budaya yang terkandung dalam setiap temuan tersebut.
OIS